Ada Apa dengan Penegakan Hukum Taman Nasional Tesso Nilo? Dari Tokoh Adat Dipenjara hingga Anggota Dewan Lolos dari Jerat Pidana

- Penulis

Selasa, 22 Juli 2025 - 01:05 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Pekanbaru,(Alamrimba.com) – Upaya penegakan hukum terhadap perambahan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) oleh Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) dan Polda Riau terus menuai sorotan tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil.

Inkonsistensi dalam penindakan, terutama terkait penerapan restorative justice dan penafsiran Pasal 110B Undang-Undang Cipta Kerja, menimbulkan pertanyaan serius mengenai keadilan dan ketegasan hukum, khususnya bagi para “cukong” sawit ilegal yang meraup keuntungan besar dari kerusakan ekosistem vital ini.

Sejak Satgas PKH melakukan penyegelan kebun sawit ilegal dan penahanan dua alat berat di TNTN, aparat memang menunjukkan langkah awal yang menjanjikan. Puncaknya adalah penangkapan Jasman, seorang tokoh adat Desa Lubuk Kembang Bunga, Pelalawan. Jasman ditangkap karena terbukti menjual 20 hektar lahan konservasi kepada Dedi Yanto (DY) dengan dalih hak ulayat seharga Rp 10 juta, meskipun ia mengklaim memiliki hak ulayat atas 113.000 hektar dan telah menjualnya kepada lebih dari 100 orang.

Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan, dalam konferensi pers pada 23 Juni lalu, menegaskan komitmennya. “Kita harus bisa melakukan penegakan hukum terhadap penyalahgunaan status adat untuk memperjualbelikan kawasan konservasi yang notabene adalah rumah gajah,” ujar Kapolda.

Ia juga memberikan peringatan keras bahwa pengungkapan kasus jual beli hutan konservasi akan menyasar pelaku lain, karena ini adalah tindak kejahatan terhadap keberlangsungan masa depan generasi penerus.

Namun, semangat penegakan hukum ini mulai dipertanyakan ketika nasib berbeda dialami oleh pelaku perambahan skala besar. Nico Jan Andrio Sianipar dan Dedi Purnomo, yang menguasai 401 hektar kebun sawit di TNTN, tidak ditahan setelah bersedia menyerahkan lahan secara sukarela kepada Satgas PKH pada 29 Juni 2025. Padahal, Polda Riau sudah menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulai Penyidikan (SPDP) dan keduanya terancam Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHAE).

Hal serupa terjadi pada Anggota DPRD Riau dari Fraksi PDI-P, Suyadi. Ia menyerahkan 311 hektar kebun sawit ilegal yang dikelolanya bersama keluarga sejak 2009 di Desa Segati, TNTN. Suyadi mengaku menyelesaikan masalah ini dengan restorative justice dan cara damai, meskipun ia mengelola puluhan ribu pohon sawit di kawasan konservasi.

Baca Juga:  GAKKUM KEHUTANAN BERSAMA BAKAMLA AMANKAN 443 BATANG KAYU OLAHAN ILEGAL DI PELABUHAN RAKYAT SAGULUNG KOTA BATAM

Kepala Divisi Kehutanan dan Keanekaragaman Hayati Indonesia Center for Environmental Law (ICEL), Difa Shafira, menjelaskan bahwa Pasal 110B UU Cipta Kerja hanya mungkin diterapkan untuk sawit yang terbangun sebelum 2 November 2020. Apabila sawit berada di hutan konservasi, maka wajib dikembalikan kepada negara.

“Ketidakpatuhan atas kewajiban pembayaran denda administratif dan pemulihan harus ditindaklanjuti dengan sanksi pidana,” tegas Difa. Ia juga mengkritik penggunaan istilah restorative justice untuk kasus semacam ini, sebab pengembalian lahan ke negara adalah mekanisme administratif, bukan penyelesaian pidana.

Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Sahputra, dengan tegas menyatakan bahwa Polda Riau keliru menerapkan Pasal 110B. Ketentuan ini, menurutnya, seharusnya diikuti dengan sanksi administratif dan pidana (kumulatif eksternal) jika pelanggaran terjadi setelah batas waktu 2 November 2020.

“Jikapun pemerintah memilih menjatuhkan sanksi lain, boleh. Yaitu, sanksi administrasi berupa pembayaran denda atau paksaan pemerintah,” katanya.

Roni juga mengkritik keras pernyataan Suyadi yang menyesatkan. Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif mensyaratkan banyak hal, termasuk bahwa tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun, serta nilai kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta.

“Dalam konteks TNTN yang merupakan kawasan konservasi, penegakan hukum harus langsung menggunakan jalur pidana,” kata Roni, menegaskan bahwa ultimum remedium bukan otoritas penegak hukum untuk menafsirkannya, melainkan domain pembentuk undang-undang.

Senada, Direktur Eksekutif Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring, menilai bahwa proses penegakan hukum yang ceroboh terhadap perambah TNTN tidak lepas dari Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang penertiban kawasan hutan.

“Seburuk apapun norma di UU CK, substansi perpres yang melampaui UU itu membuat proses penegakan hukum jadi sembrono dan abuse dari presiden hingga kepolisian,” tegas Boy. Ia bahkan mendesak Presiden untuk segera menerbitkan Perppu guna menghapus ketentuan Pasal 110B, kecuali ayat 2, agar penegakan hukum lebih tegas dan tidak menciptakan preseden buruk.

Roni Sahputra menegaskan bahwa pendekatan pemerintah dalam menangani perambahan kawasan TNTN tidak tepat. Pengambilalihan kebun sawit di kawasan hutan tidak bisa hanya mengandalkan kesukarelaan pelaku, tetapi harus melalui proses penegakan hukum yang jelas dan tegas.

Baca Juga:  Ketua KMPKS Desak Pencopotan Oknum DPRD Riau Diduga Bekingi Mafia Tanah di Kawasan TNTN

“Seharusnya, pendekatan adalah penegakan hukum, bukan sekadar meminta pelaku menyerahkan lahannya secara sukarela,” katanya.

Ia juga menyoroti persoalan serius pasca pengambilalihan kebun sawit jika tidak disertai pemulihan. “Tapi siapa yang akan menebang sawit dan menanami kembali? Negara tidak akan sanggup menanggung semua biaya itu.

Seharusnya perusahaan atau pelaku yang sudah mendapat keuntunganlah yang bertanggung jawab untuk memulihkannya,” ujar Roni. Biaya pemulihan hutan sangat besar dan harus ditanggung oleh pihak yang selama ini meraup keuntungan.

Negara kehilangan banyak dari perusakan kawasan konservasi seperti TNTN, mulai dari kerusakan ekosistem, terganggunya habitat satwa langka seperti gajah, hingga hilangnya potensi penerimaan negara karena kebun sawit ilegal yang tidak membayar pajak.

“Tidak ada istilah sukarela kalau sudah merusak dan mengambil keuntungan dari kawasan konservasi. Harus tetap diproses hukum,” tegas Roni.

Koordinator Jikalahari, Okto Yugo Setiyo, mendukung penuh penegakan hukum terhadap “cukong” yang menguasai sawit ilegal skala luas hingga ratusan hektar. “Bagi cukong tidak ada ampun. Pulihkan dulu (kawasan hutan) yang dikuasai cukong,” katanya.

Selain itu, Okto juga mendesak penegakan hukum menyasar pabrik kelapa sawit yang terbukti menerima buah sawit dari TNTN. Menurutnya, pabrik-pabrik ini, yang di bawah kendali perusahaan besar dengan pengetahuan dan modal, layak dijerat hukum.

Merujuk laporan Eyes on the Forest tahun 2018, terdapat 22 Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menampung buah dari taman nasional tersebut. “Perlu ditindak juga hukum PKS yang menerima buah. Termasuk dari PKS, mengalir ke grup perusahaan apa? Kalau sawit cukong ditebang, PKS juga harus bisa ditutup untuk menerima buah dari TNTN,” desak Okto.

Organisasi masyarakat sipil berharap, aparat penegak hukum dapat bertindak lebih konsisten dan transparan dalam menangani kasus perambahan TNTN, demi keberlanjutan ekosistem vital ini dan tegaknya keadilan di mata hukum.

(Sumber dari Berbagai Pengiat Lingkungan Hidup)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Follow WhatsApp Channel alamrimba.com untuk update berita terbaru setiap hari Follow

Berita Terkait

Korporasi yang Alih Fungsi Kawasan Hutan Jadi Lahan Sawit Segera Ditindak, Segini Besaran Dendanya
Kuasai Lahan Yang Statusnya Kawasan Hutan “HN” Resmi Akan Digugat LSM Bidang Kehutanan ke PN Pelalawan
Niat Buka Kebun, Kepala Desa di Aceh Tengah Malah Jadi Tersangka Perusak Hutan Lindung
Pererat Sinergi, Danrem 031/Wira Bima Lakukan Silaturahmi ke Kabupaten Pelalawan
Satgas PKH Temukan Indikasi Pelanggaran, 9 Perusahaan HTI di Sekitar TNTN Tanam Sawit
Menu Bupati Pelalawan Buka City Gas Tour 2025
Warga Serahkan Ribuan Hektare Lahan di TNTN, Upaya Penyelamatan Hutan Riau
Siap-siap, Satgas PKH akan Tagih Denda Bagi Korporasi yang Sulap Kawasan Hutan Jadi Tambang dan Lahan Sawit
Berita ini 183 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 7 Oktober 2025 - 06:55 WIB

Korporasi yang Alih Fungsi Kawasan Hutan Jadi Lahan Sawit Segera Ditindak, Segini Besaran Dendanya

Minggu, 28 September 2025 - 22:50 WIB

Kuasai Lahan Yang Statusnya Kawasan Hutan “HN” Resmi Akan Digugat LSM Bidang Kehutanan ke PN Pelalawan

Jumat, 26 September 2025 - 00:00 WIB

Niat Buka Kebun, Kepala Desa di Aceh Tengah Malah Jadi Tersangka Perusak Hutan Lindung

Minggu, 21 September 2025 - 13:40 WIB

Pererat Sinergi, Danrem 031/Wira Bima Lakukan Silaturahmi ke Kabupaten Pelalawan

Jumat, 19 September 2025 - 23:51 WIB

Menu Bupati Pelalawan Buka City Gas Tour 2025

Berita Terbaru